Senin, 14 Mei 2012

jangan mau cuma jadi butiran debu


Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku terjatuh dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpamu butiran debu

Itu bukan puisi yaa. Itu lirik lagu. Lagu yang akhir-akhir ini sering banget saya dengar. Awalnya denger pas nonton infotainment, lagu itu jadi lagu pas closingnya. Tapi lama-lama jadi sering denger dari temen-temen. Lagu itu judulnya Butiran debu by Rumor. nggak munafik saya juga sempet download sendiri dan masuk dalam playlist saya, tapi nggak lama. Hehe

Saya kepikiran. Kenapa sih ini orang mengumpamakan dirinya sebagai ‘butiran debu’?
Debu kan sesuatu yang sangat nggak berguna, kotor, mengganggu dari segi keindahan atau kesehatan. Coba di setiap sudut ruangan kalau keliatan ada debu sedikit aja, pasti kita langsung bersihin kan? Semua orang nggak akan membiarkan perabotannya berdebu. Itu pasti.

Debu itu sumber penyakit, makanya kalo orang bersih-bersih biasanya pake masker untuk menghindari debu. Jadi orang (pencipta lagu) ini pengen menyatakan kalau dirinya sebagai debu dan dihindari banyak orang begitu?? Udah merasa hidupnya terlalu ramai apa gimana sampe dia pengen jadi debu yang dihindari sama orang-orang. Debu itu sumber penyakit.

Dari awal saya dengerin lagu ini udah kasian. Melasss banget ini lagu. Galaunya udah stadium empat. Keparat.

Coba deh ya kata debu itu diganti pake emas atau berlian atau benda lain yang lebih penting dan berguna. Hmm kalo pake berlian sih gak masuk ya, soalnya berlian kan tiga suku kata (ber-li-an) jadi nadanya bisa berubah, pake emas dong kalo begitu, sama-sama dua suku kata (e-mas). Kalo misalnya masih mikir lagi emas nggak berbentuk butiran, tapi batangan. yah mikir aja lagi lebih dalem, emas yang mau dibentuk buat kalung itu apa nggak dijadiin butiran-butiran dulu tuh!

Kalo make kata emas sebagai wujud kegalauannya itu akan lebih ngasih nilai ke galauers itu sendiri. Emas atau berlian loh mahal, eksklusif, kinclong, diinginkan dan disukai hampir semua orang, tapi Cuma orang-orang tertentu yang bisa memilikinya.

Nah, menurut saya untuk orang-orang penganut paham galauisme, jadilah umat galau yang bermartabat, berkelas, dan elegan. Jati diri itu penting, begitu juga dengan pencitraan.

Jangan mau Cuma menjadi umat galau yang istilahnya galau akut atau kalau itungan nyawa gitu udah koma. Cuma pengen orang tahu, biar orang kasian, terus iba, terus diperhatiin, terus PDKT, terus lanjut dan ternyata nggak sampe jadian tapi Cuma di-PHP-in (PHP: Pemberi Harapan Palsu), dan akhirnya galau lagi, lebih parah, sekarat. Mampuss kan. Ujung-ujungnya stress, bunuh diri, dan jadi makhluk terbodoh di dunia dan akhirat. Hina sekali hidupnya.

Jadilah umat galau yang seperti emas atau berlian itu tadi. Terlihat menarik, tapi tidak mengganggu, malah menyenangkan, berkilau atau ceria, dan orang akan memberikan perhatian yang lebih, bukan karena kasihan, tapi karena kagum.
 Walau dalam hati kamu adalah debu, biarin aja, tahan debu itu di dalam, jangan dikeluarin, karena itu kotor, sumber penyakit. Keluarin aja emas dan berlian yang berkilau itu. Akting lah sedikit-sedikit. Jangan apa adanya terus tapi mengharap belas kasihan orang. Selama kita bukan fakir miskin (dalam arti beneran ya, bukan fakir asmara) kita nggak perlu minta orang untuk kasihan dan prihatin sama kita.

Semoga tulisan saya kali ini bisa membangkitkan hati-hati para umat galauers yang (sebenarnya) mulia, untuk lebih menjadi umat yang hidupnya bermutu, tak melulu soal galau.
Helloooooooo, hidup ini indah, masih sangat banyak sisi lain yang menunggu kita untuk menjamahnya..


~Mbuss