Eropa? Ooh sungguh benua yang benar-benar menjadi impian terbesar saya selama ini. Target pencapaian yang harus saya raih. Wujud kesuksesan saya, hasil dari sekolah, kuliah, dan karir saya.
Nantinya.
Ya nantinya.
Jadi  saya belum berangkat dan menjejakkan kaki di Eropa sodara-sodara. Memiliki rencana berangkat yang fix pun belum. Bahkan paspor dan visa sekalipun belum membuat. Lalu bagaimana bisa seseorang belum berangkat, namun sudah tersesat di Eropa.
Itu hanya istilah saja. Istilah dari percakapan beberapa waktu lalu dengan seorang teman. Istilah yang kami gunakan untuk mewakili jiwa kami yang memang ‘tersesat’.
Bayangkan, saya memiliki impian terbesar seperti kalimat awal di post ini. Kemudian suatu hari ada seseorang mengajak saya untuk pergi ke Eropa bersamanya, berdua. Saya menyiapkan paspor dan visa sebagai benda wajib saya selain kartu identitas saya disana. Seperti mendapat durian runtuh. Senang, bahagia dan saking senangnya sampai merasa telapak kaki ini sudah tak menyentuh bumi lagi, melayang. Seperti diajak malaikat untuk menyusuri taman Firdaus yang indah di Surga.
Hari yang ditunggu tiba. Hari dimana akhirnya saya benar-benar bangun dari mimpi indah, dan menapakkan kaki saya di tanah Eropa. Nyata. Ini bukan mimpi. Saya dengan seseorang itu. Dia  senang, jelas. Tapi saya lebih senang, karena ini memang salah satu dari ‘goal’ hidup yang saya rencanakan. Eropa. Kini saya ada di Eropa. Pijakan pertama kaki saya ini ternyata ada di Paris. Kota pertama yang memang saya impikan. Kota dimana menara itu berdiri kokoh dan memukau. Kota dimana setiap tamannya adalah taman yang saya kira indah, dan kota dimana setiap sudutnya adalah magnet yang selalu menarik keinginan saya untuk datang kesana.
Dari airport dan mengurus segala keperluan yang ada, kami tiba di hotel. Beristirahat sejenak. Tak sabar kami pun segera menyusuuri setiap sudut kota itu. Beberapa hari di Paris. Semuanya begitu indah dan mengesankan.
Hingga disinilah cerita mulai bercabang. ‘Saya’ dan ‘Dia’ di cerita pertama tidak sama dengan yang di cerita kedua nanti.
*cerita pertama*
pada hari ketiga perjalanan menikmati kota sejuta cinta itu, tiba-tiba dia yang pada awalnya mengajak saya dan menanggung segala kebutuhan saya di Eropa ini pergi. Dia menghilang tiba-tiba ketika kami sedang berada di salah satu taman yang indah. Tak tahu, perkiraan saya mungkin dia sedang menyiapkan kejutan untuk saya. Saya tetap menunggunya di taman itu. Menunggunya dengan senang. Tanpa berpikir buruk sedikitpun. Hingga larut, saya mulai tak tenang.
Kembali ke hotel menjadi pilihan saya, karena sudah terlalu lelah menunggu. Kenyataan berkata lain. Tak ada kejutan indah seperti yang saya bayangkan. Kamar hotel sudah bersih, kosong. Kami menginap di kamar yang berbeda. Saya tengok kamar Dia ternyata kosong juga. Saya tanya ke resepsionis hotel, ternyata kamar yang saya huni atas nama Dia tercatat telah check out sekitar 5 jam yang lalu. Ooh, 5 jam yang lalu, selama itu juga saya menunggu Dia di taman, dan tak kembalimenemui saya hingga saat ini. Ternyata Dia pergi. Dia membereskan semuanya, semua barang, koper, dan semuanya, termasuk paspor dan visa saya yang dibawanya. Ooh saya pikir, mungkin dia memiliki rencana yang lain, mungkin malam ini juga dia mengajak saya terbang ke Roma. Baiklah saya tunggu, saya check in sendiri di hotel itu lagi atas nama saya sendiri.
Saya tidur. Tapi tak tidur. Terus memikirkan apa yang sedang diperbuat oleh seseorang itu, kenapa dia pergi dan menghilang tiba-tiba. Apa saya telah melakukan kesalahan yang tidak saya sengaja, tapi itu fatal dan menyakitinya sehingga Dia pergi dan sama sekali tak bisa dihubungi ponselnya.
Parahnya lagi, saya sudah mulai kehabisan uang saya. Saya urung. Kota Paris ini sudah tak lagi menarik bagi saya. Saya tak tahu mesti bagaimana. Mau pulang kembali ke Indonesia, paspor, visa, dan segala milik saya dibawa olehnya. Bagaimana saya bisa pulang? Sedangkan untuk bertahan hidup disini pun saya tidak memiliki apa-apa, dan siapapun untuk dimintai pertolongan.
Lalu bisa apa saya ini? Yang bisa saya lakukan hanyalah tetap bertahan hidup untuk orang-orang yang menunggu saya di Indonesia. Tetap di Paris, menunggunya kembali.
*cerita kedua*
Hari ketiga menikmati hari di kota ini, Kami sangat senang. karena saya yang memiliki impian ini dari dulu, dan Dia ikut menemani saya bermimpi, akhirnya kami tiba di kota ini. Sore hari kami duduk-duduk di taman dekat menara Eiffel, berbincang, bercanda, dan kami sangat menikmati suasana ini. Sampai ada kalimat dari Dia, yang menurutnya sangat penting terucap, tapi saya mengabaikan dan mengalihkannya pada perbincangan tentang hal lain. Dia tidak marah, biasa saja, dan kami pun masih tertawa bersama. Meski saya tau bagaimana perasaannya. Karena yang saya lakukan ini adalah yang terbaik untuk kami, setidaknya itu menurut saya.
Kami terus menikmati sore itu, sampai dinner sederhana tapi menyenangkan dan romantis. Kami pun kembali ke hotel. Istirahat di kamar masing-masing. Jelas lah kami beda kamar. Saya tidur nyenyak, mungkin karena kecapaian dan terlalu senang. Dia pun begitu (sepertinya).
Tapi mimpi buruk terjadi pagi hari, eh atau menjelang siang. Ya kebiasaan saya memang sulit bangun pagi. Dia sudah bangun lebih dulu. Entah jam berapa. Saya menyimpulkan kalau dia bangun lebih dulu, karena saat saya menghampiri ke kamarnya untuk mengajaknya brunch, Dia sudah tidak ada di kamarnya, barang-barangnya pun tidak ada, bersih. Saya tanya ke resepsionis hotel, ternyata dia memnag sudah check out tadi pagi-pagi sekali. Dia juga membayari kamar saya. Saya sedikit shock. Sedikit saja, karena saya menyadari apa yang telah saya perbuat kemarin. Saya mengecewakannya. Sehingga sekarang dia marah. Atau tidak marah, tapi kecewa yang teramat berat pada saya.
Saya mencoba tenang. Menghubunginya pun tidak saya lakukan, karena saya malu atas kesalahan saya kemarin. Sedikit tapi fatal. Namun saya memperhatikannya dari jauh. Dengan sifat keingintahuan saya (kepo) saya melihat-lihat statusnya di beberapa jejaring sosial. Ternyata dia sudah terbang dan mendarai di London, Inggris. What?? Dia meninggalkan saya sendiri disini, tapi Dia sudah di London sekarang? Gila aja! Tega-teganya Dia ninggalin saya. Hmm Kembali lagi. Itu salah saya juga sih.
Tapi untungnya segala berkas penting ada di saya, paspor, visa, kartu identitas, dan semua barang-barang saya masih saya pegang sendiri. Uang juga masih ada. Jadi saya masih bisa menikmati hari-hari saya di Eropa ini. Untuk menghilangkan kesedihan saya, baiklah saya ke jalan-jalan saja, sendirian nggak masalah, toh saya juga punya kemampuan kok. Menikmati Paris sendirian sambil belanja sampai puas. Setelah itu saya memutuskan pulang kembali ke Indonesia. Bertemu orang-orang yang menunggu saya.
Dari ke-kepo-an yang berlanjut, saya melihat ternyata setelah dari inggris Dia melanjutkan berkeliling Eropa, Roma, Venice, Belanda, Jerman, Barcelona. Setelah itu kemana lagi saya tak tahu, dan entah apakah Dia akan kembali lagi ke Indonesia atau akan tetap di Eropa.
Dan begitulah dua cerita berbeda, dialami dua subjek yang berbeda, dengan konteks yang berbeda.
~Mbuss
 
